Pelepasan air radioaktif dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi ke Samudra Pasifik dimulai pada 24 Agustus 2023, setelah bencana nuklir Fukushima Daiichi yang dipicu oleh gempa bumi dan tsunami Tōhoku pada 11 Maret 2011 di Jepang. Akibat tsunami besar yang melumpuhkan sistem pendingin di pembangkit listrik tenaga nuklir itu, tiga reaktor mengalami kerusakan, meninggalkan sisa bahan bakar yang meleleh. Air yang kemudian digunakan untuk mendinginkan puing-puing menjadi terkontaminasi radioaktif nuklida.[3] Sebagian besar bahan radioaktif berasal dari kebocoran langsung ke atmosfer, 80% di antaranya akhirnya mengendap di Pasifik (dan di beberapa sungai).[4]
Kebocoran ke air tanah terus terjadi sejak bencana terjadi dan baru pertama kali diakui oleh pembangkit listrik tenaga nuklir pada tahun 2013.[5] Sejak itu, air yang terkontaminasi telah diolah menggunakan Sistem Pemrosesan Cairan Lanjutan (Advanced Liquid Processing System, disingkat ALPS) untuk menghilangkan sebagian besar radionuklida,[3][6] kecuali tritium, yang memiliki waktu paruh 12,32 tahun, dan karbon-14, yang memiliki waktu paruh lebih dari 5.000 tahun.[7][8]
Pada tahun 2021, kabinet Jepang menyetujui pembuangan air hasil pengolahan ALPS ke laut selama 30 tahun, yang setelah diencerkan memiliki kadar tritium dan karbon-14 yang dilaporkan memenuhi standar keamanan.[9][10] Pada 24 Agustus 2023, pembangkit listrik mulai melepaskan air hasil olahan ke Samudra Pasifik. Hal ini melibatkan pemrosesan dan pelepasan lebih dari satu juta ton air radioaktif yang disimpan di pembangkit listrik tenaga nuklir yang akan berlangsung selama 30 tahun.[11]
Tindakan pembuangan air radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir ke laut menimbulkan kekhawatiran dan menuai kritik dari negara lain dan organisasi internasional.